
Apa itu ADHD?
ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) adalah gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan kesulitan memusatkan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas. dalam bahasa Indonesia, ADHD disebut sebagai GPPH, atau Gangguan Pemusatan Perhatian dengan Hiperaktivitas
Tipe-Tipe ADHD:
- Inattentive type (kesulitan fokus)
- Hyperactive-impulsive type (aktif dan impulsif)
- Combined type (gabungan keduanya)
Mitos dan fakta seputar ADHD
Mitos 1. ADHD hanya terjadi pada anak-anak
Fakta:
- ADHD tidak hanya terjadi pada anak-anak, tetapi bisa berlanjut hingga dewasa.
- Penelitian menunjukkan sekitar 60–70% anak dengan ADHD tetap memiliki gejala saat dewasa, meskipun manifestasinya bisa berubah — misalnya, hiperaktivitas fisik berkurang, tetapi masalah fokus dan impulsivitas tetap ada.
- ADHD disebabkan oleh perbedaan fungsi dan konektivitas otak (terutama di korteks prefrontal, striatum, dan sistem dopaminergik).
- Karena merupakan gangguan perkembangan saraf, dasarnya bersifat kronis, bukan fase sementara masa kanak-kanak.
- Seiring bertambahnya usia, gejala berubah bentuk (symptom shifting) — bukan menghilang, jadi, tidak hanya terjadi pada anak-anak, tetapi merupakan gangguan seumur hidup dengan manifestasi yang berubah dari waktu ke waktu.
- Dengan diagnosis dan intervensi yang tepat, individu dewasa dengan ADHD dapat berfungsi optimal di pekerjaan, relasi, dan kehidupan sehari-hari.
Mitos 2: ADHD disebabkan oleh pola asuh yang buruk
Fakta:
- ADHD bukan akibat pola asuh, melainkan kondisi neurobiologis dengan dasar genetik dan neurokimia yang kuat.
- Pola asuh tidak menjadi penyebab utama munculnya ADHD walau dapat memengaruhi ekspresi/perilaku yang tampak. Pola asuh memang bisa memengaruhi perilaku anak, tetapi bukan penyebab munculnya ADHD.
- ADHD terutama berakar pada faktor genetik dan neurobiologis; pola asuh tidak menyebabkan kondisi itu, meskipun pola asuh dan lingkungan dapat memperburuk atau meringankan gejala.
- Oleh karena itu, intervensi yang paling efektif mengombinasikan pemahaman medis (diagnostik dan obat bila perlu) dengan dukungan lingkungan—termasuk pelatihan orangtua dan penataan sekolah
Mitos 3: Pengobatan ADHD dengan obat stimulan membuat ketergantungan
Fakta:
- Obat stimulan (seperti methylphenidate atau amphetamine) tidak menyebabkan ketergantungan jika digunakan sesuai resep dokter dan di bawah pengawasan profesional.
- Justru, terapi ini membantu meningkatkan fokus dan kontrol diri, serta menurunkan risiko penyalahgunaan zat di masa depan.
- Obat stimulan (mis. methylphenidate, amphetamine) bekerja dengan menyeimbangkan kadar dopamin dan norepinefrin di otak, yaitu neurotransmiter yang berperan dalam perhatian, motivasi, dan kontrol impuls.
- Pada otak individu dengan ADHD, kadar dopamin di sistem mesocorticolimbic cenderung lebih rendah. Obat stimulan menormalkan aktivitas dopamin, bukan menambahnya berlebihan.
- Karena itu, efeknya terapeutik, bukan euforia, berbeda dengan penyalahgunaan zat stimulan dosis tinggi yang meningkatkan dopamin ekstrem dan memicu rasa “high”
Mitos 4: Individu dengan ADHD tidak cerdas
Fakta:
- Banyak individu dengan ADHD memiliki kecerdasan normal hingga di atas rata-rata. Tantangan utama proses berpikir mereka ada pada regulasi perhatian dan fungsi eksekutif, bukan pada kemampuan intelektual.
- individu dengan ADHD tidak otomatis kurang cerdas. Banyak anak/dewasa dengan ADHD punya IQ rata-rata sampai di atas rata-rata; masalah utama mereka adalah fungsi eksekutif (perhatian, kerja memori, kecepatan pemrosesan, pengaturan perilaku), bukan kapasitas intelektual umum.
- Beberapa studi bahkan menunjukkan korelasi antara ciri ADHD (impulsivitas, berpikir non-linier) dan kreativitas/divergen thinking.
Mitos 5: ADHD disebabkan oleh terlalu banyak bermain gadget
Fakta:
- Tidak ada bukti bahwa gadget menyebabkan ADHD. Namun, penggunaan layar berlebihan dapat memperburuk gejala pada individu yang sudah memiliki kerentanan terhadap ADHD (misalnya menurunkan kemampuan fokus dan kualitas tidur).
- Namun, paparan layar berlebihan dapat memperburuk gejala perhatian, impulsivitas, dan kualitas tidur, terutama pada anak yang sudah memiliki kerentanan neurobiologis terhadap ADHD.
- Aktivitas digital (game, media sosial, video pendek) merangsang sistem dopamin otak secara cepat. Bagi anak dengan kerentanan ADHD, ini bisa memperburuk kesulitan fokus dan kontrol impuls, karena mereka cenderung mencari stimulasi instan (instant reward seeking).
- Jadi, gadget tidak menciptakan ADHD, tapi memperparah kesulitan regulasi perhatian yang sudah ada.
Mitos 6: ADHD bisa “disembuhkan” sepenuhnya
Fakta:
- ADHD tidak bisa disembuhkan, tetapi dapat dikelola dengan efektif melalui kombinasi terapi perilaku, intervensi psikologis, dukungan keluarga, dan bila perlu, medikasi.
- ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) tidak dapat disembuhkan sepenuhnya, karena merupakan gangguan neurodevelopmental — artinya, kondisi ini berakar pada perbedaan fungsi dan struktur otak, khususnya di area yang mengatur perhatian, impulsivitas, dan kontrol emosi.
- Namun, gejala ADHD dapat dikelola secara efektif dengan strategi yang tepat, sehingga individu tetap dapat berfungsi dengan sangat baik dalam kehidupan sehari-hari.
- Dengan penanganan yang tepat, banyak individu dengan ADHD dapat berfungsi dengan sangat baik.
Pendekatan penanganan yang efektif (Evidence-Based Practice)
- Terapi Perilaku & Psikoedukasi
-
- Mengajarkan anak dan keluarga tentang cara mengenali serta mengatur perilaku dan emosi.
- Fokus pada positive reinforcement dan behavioral modification.
- Efektivitas: Menurunkan perilaku impulsif dan meningkatkan kepatuhan.
- Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
-
- Membantu individu mengenali pikiran negatif (“saya tidak bisa fokus”) dan menggantinya dengan pola pikir realistis.
- Melatih keterampilan organisasi, manajemen waktu, dan kontrol impuls.3
- Farmakoterapi (Obat Stimulan & Non-stimulan)
-
- Obat seperti methylphenidate atau amphetamine menyeimbangkan kadar dopamin dan norepinefrin di otak.
- Terbukti meningkatkan perhatian dan fungsi eksekutif tanpa menyebabkan ketergantungan jika digunakan sesuai resep.
- Pendekatan Penanganan yang Efektif (Evidence-Based Practice)
- Intervensi Lingkungan & Dukungan Keluarga
-
- Penyesuaian di sekolah (misalnya waktu ujian tambahan, pengurangan distraksi).
- Pelatihan orangtua (parent training) agar mampu memberi struktur dan dukungan emosional yang konsisten.
- Pendekatan Multimodal (Terpadu)
-
- Kombinasi terapi perilaku, edukasi, dan medikasi memberikan hasil terbaik.
- Fokus bukan pada “penyembuhan”, tetapi peningkatan kualitas hidup dan adaptasi jangka panjang.
Kesimpulan
- ADHD tidak dapat disembuhkan secara total, tetapi dapat dikelola dengan sangat baik.
- Fokus utama bukan menghapus gejala, melainkan membangun kemampuan adaptasi, kontrol diri, dan strategi hidup produktif.
- Dengan penanganan yang berkelanjutan dan dukungan lingkungan yang positif, individu dengan ADHD dapat mencapai potensi optimalnya.
Referensi:
- Faraone, S. V., et al. (2021). The World Federation of ADHD International Consensus Statement: 208 Evidence-based conclusions about the disorder. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 128, 789–818.
- Caye, A., et al. (2019). A comprehensive review of adult ADHD. World Psychiatry, 18(3), 302–315.
- Thapar, A., & Cooper, M. (2016). Attention deficit hyperactivity disorder. The Lancet, 387(10024), 1240–1250.
- Franke, B., et al. (2018). Genetic influences on ADHD. Nature Reviews Neuroscience, 19, 435–448.
- Cortese, S., et al. (2020). Comparative efficacy and tolerability of medications for attention-deficit hyperactivity disorder in children, adolescents, and adults: a systematic review and network meta-analysis. The Lancet Psychiatry, 7(9), 741–755.
- Wilens, T. E., et al. (2021). Does stimulant therapy of attention-deficit/hyperactivity disorder beget later substance abuse? A meta-analytic review of the literature. Pediatrics, 148(2), e2020049469.
- White, H. A., & Shah, P. (2020). Creative style and achievement in adults with attention-deficit/hyperactivity disorder. Personality and Individual Differences, 160, 109917.
- Antshel, K. M., & Russo, N. (2019). Cognitive functioning in ADHD across the lifespan: A cross-sectional meta-analysis. Clinical Psychology Review, 74, 101781.
- Ra, C. K., et al. (2018). Association of digital media use with subsequent symptoms of attention-deficit/hyperactivity disorder among adolescents. JAMA, 320(3), 255–263.
- Radesky, J. S., & Christakis, D. A. (2023). Digital media and child development. Pediatrics, 151(Suppl 2), e2022058820D.
- Sonuga-Barke, E. J. S., et al. (2018). Nonpharmacological interventions for ADHD: systematic review and meta-analyses of randomized controlled trials. American Journal of Psychiatry, 175(2), 179–193.
- Cortese, S. (2023). Managing ADHD across the lifespan: Evidence-based recommendations. The Lancet Psychiatry, 10(1), 15–29.

Neni Sholihat
- Neni Sholihat#molongui-disabled-link
- Neni Sholihat#molongui-disabled-link
- Neni Sholihat#molongui-disabled-link
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email
